Pages

postheadericon Masjid Benteng Kaledupa Sejarah Yang Terlupakan


Pulau Kaledupa adalah salah satu pulau terbesar di gugusan kepulauan Wakatobi. Di pulau ini terdapat salah pulau yang menjadi objek bulan-bulanan wisatawan manca negara maupun domestik yang berkunjung ke kepulauan Wakatobi yaitu pulau Hoga. Namun siapa yang sangka, ternyata selain keindahan alamnya yang sudah dikenal sampai ke berbagai belahan dunia, pulau Kaledupa juga ternyata menyimpan banyak kebudayaan dan peninggalan-peninggalan orang dahulu yang tak kalah menariknya untuk dibahas. Di pulau kedua gugusan kepulauan tukang besi ini (nama sebelum berdiri menjadi kabupaten), menyimpan begitu banyak bentuk kebudayaan yang berkaitan dengan karakteristik dan agama yang dianut oleh masyarakat setempat.
Sebagai daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim, salah satu peninggalan leluhur yang sangat fenomenal di kalangan masyarakat Kaledupa adalah Masjid Benteng yang terletak di desa Ollo kecamatan Kaledupa. Dilihat dari namanya "Masjid Benteng", ternyata Masjid ini berdiri di dalam sebuah benteng yang membentang di atas sebuah bukit. Dalam sejarah Kesultanan Buton, benteng ini adalah merupakan benteng pertahanan wilayah selatan Kesultanan tepatnya di pulau Kaledupa yang dalam bahasa kesultanan dikenal dengan istilah  Bharata Kaledupa.
Masjid ini adalah Masjid tertua di tanah Kaledupa yang konon dibangun tak berselang lama dengan Masjid Keraton Buton yang sampai sekarang masih berdiri kokoh di dalam lingkungan Keraton Buton tepatnya di kota Bau-bau. Masji ini berdiri di dalam sebuah Keunikan lain dari Masjid Agung Bente ini adalah arsitekturnya yang sangat  berciri khaskan bangunan yang ada di Keraton Buton. Masjid yang berdiri di atas bukit Ollo ini memiliki kemiripan dengan dua buah Masjid lain di wilayah Indonesia Timur yakni Masjid Keraton Buton (Masjid peninggalan Kesultanan Buton) dan Masjid keraton Ternate (Masjid peninggalan Kesultanan Ternate).
Menurut cerita, di dalam Masjid yang dibangun tanpa menggunakan semen ini terdapat makam seorang gadis cantik yang konon dikubur hidup-hidup dengan mengenakan busana adat Buton (pakaian yang biasa dikenakan penari Lariangi) saat Masjid ini dibangun. Letak makam tersebut tepat di bawah mimbar sang khotib ketika membawakan khotbah jum'at setiap hari jumat.
Pintu dan jendela Masjid bersejarah yang berukuran kecil ini berjumlah tujuh belas yang melambangkan jumlah kewajiban rakyat yang harus di penuhi oleh setiap umat muslim sedangkan anak tangga menuju halaman majid berjumlah tujuh yang menurut informasi sehubungan dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat yaitu empat diantaranya melambangkan tingkatan manusia, sedangkan tiga lainnya melambangkan unsur pengawal raja.
Hal lain terkait bangunan bersejarah ini, adalah letaknya yang berada pada sebuah bukit yang tidak luas namun memiliki panorama dan keindahan yang cukup memikat hati. Ketika fajar mulai menyingsing hingga terbenamnya mentari disore hari dapat kita saksikan kemolekannya dari sekitar Masjid ini, bahkan lembah-lembah di sekitar bukit yang berselimutkan beragam pepohonan yang rimbun yang berjejer hingga ke pesisir pantai pun dapat kita nikmati keindahannya dari atas bukit ini. Bukan hanya itu, keindahan lautan Kaledupa yang berwarna biru hingga desiran ombak di atas batu karangpun dapat disaksikan dari tempat ini. Keindahan pulau Kaledupa merupakan salah satu kekayaan tersendiri yang tak semua daerah memilikinya. Dari dasar laut hingga ke perbukitan mengandung unsur keindahan alami yang sangat menawan.
Terlepas dari keindahan alamnya, kondisi fisik Masjid ini sudah menunjukkan keadaan yang memprihatinkan, betapa tidak masjid yang dibangun ratusan tahun yang lalu ini hanya berbahan dasar kayu dan batu yang disusun rapi oleh para pekerja saat masjid ini dibangun, tak berbeda dengan bahan dasar bangunan Masjid Keraton Buton. Kondisi serupa juga terlihat pada medan sekeliling Masjid yang tidak lagi mendapat perawatan dari masyarakat setempat apalagi dari Pemerintah Daerah. Pagar keliling Masjid maupun taman yang ada di sekitar Masjid sudah tak nampak lagi sebagai lokasi yang seharunya mendapat perawatan dan perhatian khusus. Kondisi ini memberikan kesan yang sangat memprihatinkan bagi para peneliti maupun wisatawan yang datang khusus untuk mengunjungi Masjid tersebut.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

darah yang mengalir pada diriku adalah berasal dari kaledupa...sayang..saya tidk pernah menginjakan kaki di kaledupa

Jemy Kaledupa mengatakan...

skali skali pulanglah tengok kampung halaman, tanah leluhur :)

My Blog List

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Share